PEMIKIRAN PERADABAN ISLAM MASA MODERN
( 1800 - SEKARANG )
1. Masa Pembebasan dari Kolonial Barat
Dunia Islam abad XX ditandai dengan kebangkitan dari kemunduran dan kelemahan secara budaya maupun politik setelah kekuatan Eropa mendominasi mereka. Eropa bisa menjajah karena keberhasilannya dalam menerapkan strategi ilmu pengetahuan dan teknologi serta mengelola berbagai lembaga pemerintahan. Negeri-negeri Islam menjadi jajahan Eropa akibat keterbelakangan dalam berbagai aspek kehidupan.
Terjadinya penetrasi kolonial Barat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Disatu sisi kekuatan militer dan politik negara - negara muslim menurun, perekonomian mereka merosot sebagai akibat monopoli perdagangan antara timur dan barat tidak lagi ditangan mereka. Disamping itu pengetahuan di dunia muslim dalam kondisi stagnasi. Tarekat-tarekat diliputi oleh suasana khurafat dan supertisi. Umat Islam dipengaruhi oleh sikap fatalistik1.
Pada sisi yang lain, Eropa dalam waktu yang sama menggunakan metode berpikir rasional, dan disana tumbuh kelompok intelektual yang melepaskan diri dari ikatan-ikatan Gereja; Barat memasuki abad renaisanse. Sementara dalam bidang ekonomi dan perdagangan mereka telah mengalami kemajuan pesat dengan ditemukannya Tanjung Harapan sebagai jalur perdagangan maritim langsung ke Timur, demikian pula penemuan benua Amerika. Dengan dua temuan ini Eropa memperoleh kemajuan dalam dunia perdagangan karena tidak bergantung lagi kepada jalur lama yang dikuasai Islam.
Pada permulaan abad ini tumbuh kesadaran nasionalisme hampir disemua negeri muslim yang menghasilkan pembentukan negara-negara nasional. Tetapi persoalan mendasar yang dihadapi adalah keterbelakangan umat Islam, terutama menyangkut kemampuan menguasai dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai alat paling penting dalam mempertahankan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, tanpa mengenyampingkan agama, politik dan ekonomi. Upaya kearah itu tidak lepas dari pembaharuan pemikiran yang dapat mengantarkan Islam terlepas dari cengkraman kolonialisme Barat.
a. Dunia Islam Abad XX
Keunggulan - keunggulan Barat dalam bidang industri, teknologi, tatanan politik, dan militer tidak hanya menghancurkan pemerintahan negara-negara muslim yang ada pada waktu itu, tetapi lebih jauh dari itu, mereka bahkan menjajah negara - negara muslim yang ditaklukkannya, sehingga pada penghujung abad XIX hampir tidak satu negeri muslim pun yang tidak tersentuh penetrasi kolonial Barat. Sebagaimana diketahui bahwa pada tahun 1798 M, Napoleon Bonaparte menduduki Mesir. Walaupun pendudukan Perancis itu berakhir dalam tiga tahun, mereka dikalahkan oleh kekuatan Angkatan Laut Inggris, bukan oleh perlawanan masyarakat muslim. Hal ini menunjukkan ketidakberdayaan Mesir – salah satu pusat Islam untuk menghadapi kekuatan Barat.
Sejak Napoleon menduduki Mesir, umat Islam mulai merasakan dan sadar akan kelemahan dan kemundurannya, sementara mereka juga merasa kaget dengan kemajuan yang telah dicapai Barat. Gelombang ekspansi Barat ke negaranegara muslim yang tidak dapat dibendung itu memaksa para pemuka Islam untuk mulai berpikir guna merebut kembali kemerdekaan yang dirampas. Salah seorang tokoh yang pikirannya banyak mengilhami gerakan - gerakan kemerdekaan adalah Sayyed Jamaluddin Al Afghani. Ia dilahirkan pada tahun 1839 di Afghanistan dan meninggal di Istambul 18973. Pemikiran dan pergerakan yang dipelopori Afghani ini disebut Pan-Islamisme, yang dalam pengertian luas berarti solidaritas antara seluruh umat muslim di dunia internasional.
Tema perjuangan yang terus menerus dikobarkan oleh Afghani dalam kesempatan apa saja adalah semangat melawankolonialisme dengan berpegang kepada tema-tema ajaran Islam sebagaistimulasinya. Murtadha Muthahhari menjelaskan bahwa diskursus tema-tema itu
antara lain diseputar: Perjuangan melawan absolutisme para penguasa;Melengkapi sains dan teknologi modern; Kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya; Iman dan keyakinan aqidah; Perjuangan melawan kolonial asing; Persatuan Islam; Menginfuskan semangat perjuangan dan perlawanan kedalam tubuh masyarakat Islam yang sudah separo mati; dan Perjuangan melawan ketakutan terhadap Barat4.
Disamping Afghani, terdapat dua orang ahli pikir Arab lainnya yang telah mempengaruhi hampir semua pemikiran politik Islam pada masa berikutnya. Dua pemikir itu adalah Muhammad Abduh(1849-1905) dan Rasyid Ridha(1865-1935). Mereka sangat dipengaruhi oleh gagasan-gagasan guru mereka yakni Afghani, dan berkat mereka berdualah pengaruh Afghani diteruskan untuk mempengaruhi perkembangan nasionalisme Mesir. Seperti halnya Afghani dan Abduh, Ridha percaya bahwa Islam bersifat politis, sosial dan spiritual. Untuk membangkitkan sifat-sifat tersebut, umat Islam mesti kembali kepada Islam yang sebenarnya sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi dan para sahabatnya atau para salafiah.
Untuk menyebarkan gagasan - gagasannya ini Ridha menuangkannya dalam bingkai tulisan - tulisan yang terakumulasi dalam majalah Al Manar yang dipimpinnya. Di daratan Eropa, Syakib Arsalan selalu memotori gerakan - gerakan guna kemerdekaan Arab. Misi Arsalan adalah menginternasionalkan berbagai masalah pokok yang dihadapi negara-negara muslim Arab yang berasal dari kekuasaannegara-negara Barat; dan menggalang pendapat seluruh orang Islam Arab sehingga membentuk berdasarkan ikatan keIslaman, mereka dapat memperoleh kemerdekaan dan memperbaiki tata kehidupan sosial yang lebih baik5.
Sementara pimpinan masyarakat Druze dan pembesar Usmaniyah yang mengasingkan diri ke Eropa setelah Istambul diduduki Inggris ini menyebarluaskan propagandanya melalui berbagai penerbitan berkala, diantarannya melalui jurnal La Nation Arabe yang dicetak di Annemasse Prancis.
Meskipun pada awalnya Arsalan mengambil alih konsep - konsep Pan-Islamismenya Afghani karena merasakan perlunaya pemabaharuan dalam masyarakat, namun dalam praktiknya, ia lebih menitikberatkan perjuanggannya pada Pan - Arabisme. Gerakan perjuangan yang dilakukan oleh para tokoh tersebut, walaupun belum mencapai hasil yang diinginkan yakni kemerdekaan, namun gema pemikiran Islam mereka sangat mewarnai era generasi selanjutnya, untuk membebaskan negerinya dari penetrasi kolonial Barat.
b. Pembebasan Diri dari Kolonial Barat
Gerakan kemerdekaan yang dilakukan oleh umat Islam selalu kandas ketika berhadapan dengan kolonialis Barat, tentu saja, karena teknologi dan militer mereka jauh lebih maju dari yang dimiliki umat Islam. Menurut Afghani, untuk menanggapi tantangan Barat, umat Islam harus mempelajari contoh - contoh darinya. Tentu saja tidak semua komunitas Islam sependapat dengan yang dimaksud belajar atau berguru kepada Barat. Para ulama tradisional tetap mempertahankan corak non-koperatifnya, sementara putra - putra negeri jajahan gelombang demi gelombang belajar kepada penjajah atau di sekolah-sekolah yang
sengaja diadakan di negeri jajahannya.
Dengan demikian, terdapat dua kelompok pejuang kemerdekaan dengan basisnya masing-masing, ada yang sifatnya nonkoperatif yang basisnya lembaga - lembaga pendidikan agama - di Indonesia pesantren, sedang di Asia Tengah dan Barat serta Afrika basisnya pada kelompok - kelompok tarekat-dan yang bercorak kooperatif yaitu pakar terpelajar dengan pendidikan Barat.
Pada pertengahan pertama abad XX terjadi perang dunia kedua yang melibatkan seluruh negara kolonialis. Seluruh daratan Eropa dilanda peperangan, disamping Amerika, Rusia dan Jepang. Kecamuk perang ini disatu sisi melibatkan Jepang, Hitler dengan Nazi Jermannya, dan Mussolini dengan Fasis Italianya, dan disisi lain terdapat Inggris, Perancis, dan Amerika yang bersekutu, serta Rusia.
Konsekuensi atas terjadinya peperangan ini adalah terpusatnya konsentrasi kekuatan militer di kubu masing-masing negara, baik untuk keperluan ofensif maupun defensif. Pengkonsentrasian kekuatan militer tersebut mengakibatkan ditarik dan berkurangnya kekuatan militer kolonialis dinegeri-negeri jajahan mereka.
Dalam pada itu, negara muslim tidak terlibat langsung dalam perang dunia keduasehingga pemikiran mereka waktu itu terkonsentrasi pada perjuangan untuk kemerdekaan negerinya masing-masing, dan kondisi dunia yang berkembang pada saat itu memungkinkan tercapainya cita-cita luhur tersebut. Mulai saat itu negara negara muslim yang terjajah memproklamirkan kemerdekaannya.
Usaha untuk memulihkan kembali kekuatan Islam pada umumnya yang dikenal dengan gerakan pembaharuan didorong oleh dua faktor yang saling mendukung, yaitu pemurnian ajaran Islam dari unsur-unsur asing yang dipandang sebagai penyebab kemunduran Islam, dan menimba gagasan-gagasan pembaharuan dan ilmu pengetahuan dari Barat. Gerakan pembaharuan itu dengan segera juga memasuki dunia politik, karena Islam memandang tidak bisa dipisahkan dengan politik. Gagasan politik yang pertama kali muncul adalah
gagasan Pan - Islamisme yang mula-mula didengungkan oleh gerakan Wahabiyah dan Sanusiah. Namun, gagasan ini baru disuarakan dengan lantang oleh tokoh pemikir Islam terkenal, Jamaluddin Al Afghani [1839-1897 M].
Jika di Mesir bangkit dengan nasionalismenya, dibagian negeri Arab lainnya lahir gagasan nasionalisme Arab yang segera menyebar dan mendapat sambutan hangat, sehingga nasionalisme itu terbentuk atas dasar kesamaan bahasa. Demikianlah yang terjadi di Mesir, Syria, Libanon, Palestina, Irak, Hijaz, Afrika Utara, Bahrein, dan Kuweit. Di India, sebagaimana di Turki dan Mesir gagasan Pan - Islamisme yang dikenal dengan gerakan Khilafat juga mendapat pengikut, pelopornya adalah Syed Amir Ali ( 1848 - 1928 M ). Gagasan itu tidak mampu bertahan lama, karena terbukti dengan ditinggalkannya gagasan-gagasan tersebut oleh sebagian besar tokoh-tokoh Islam. Maka, umat Islam di anak benua India ini tidak menganut nasionalisme, tetapi Islamisme yang dalam masyarakat India dikenal dengan nama komunalisme.
Sementara di Indonesia, partai politik besar yang menentang penjajahan adalah Sarekat Islam [SI], didirikan pada tahun 1912 dibawah pimpinan HOS Tjokroaminoto. Partai ini merupakan kelajutan dari Sarekat Dagang Islam [SDI] yang didirikan oleh H. Samanhudi pada tahun 1911.
Tidak lama kemudian, partaipartai politik lainnya berdiri seperti Partai Nasional Indonesia [PNI] didirikan oleh Soekarno, Pendidikan Nasional Indonesia [PNI-Baru], didirikan oleh Muhammad Hatta [1931], Persatuan Muslimin Indonesia [PERMI] yang baru menjadi partai politik pada tahun 1932, dipelopori oleh Mukhtamar Luthfi8. Munculnya gagasan nasionalisme yang diikuti dengan berdirinya partai-partai politik merupakan modal utama umat Islam dalam perjuangannya untuk mewujudkan negara merdeka yang bebas dari pengaruh politik Barat, dalam kenyataannya, memang partai-partai itulah yang berjuang melepaskan diri dari kekuasaan penjajah.
Perjuangan mereka biasanya teraplikasi dalam beberapa bentuk kegiatan, seperti gerakan politik, baik dalam bentuk diplomasi maupun dalam bentuk pendidikan dan propaganda yang tujuannya adalah mempersiapkan masyarakat untuk menyambut dan mengisi kemerdekaan.Adapun negara berpenduduk mayoritas muslim yang pertama kali berhasil memproklamasikan kemerdekaannya adalah Indonesia, yaitu pada tanggal 17 Agustus 1945. Indonesia merdeka dari pendudukan Jepang setelah Jepang dikalahkan oleh tentara sekutu. Akan tetapi, rakyat Indonesia harus mempertahankan kemerdekaannya itu dengan perjuangan bersenjata selama lima tahun berturut-turut karena Belanda yang didukung oleh tentara sekutu berusaha menguasai kembali kepulauan ini.
Negara muslim kedua yang merdeka dari penjajahan adalah Pakistan, yaitu tanggal 15 Agustus 1947 ketika Inggris menyerahkan kedaulatannya di India kepada dua Dewan Konstitusi, satu untuk India dan lainnya untuk Pakistan-waktu itu terdiri dari Pakistan dan Bangladesh sekarang-. Di Timur Tengah, Mesir misalnya, secara resmi memperoleh kemerdekaannya dari Inggris pada tahun 1922. akan tetapi, pada saat kendali pemerintahan dipegang oleh Raja Farouk pengaruh Inggris sangat besar. Baru pada waktu pemerintahan Jamal Abd al Nasser yang menggulingkan raja Farouk 23 Juli 1952, Mesir menganggap dirinya benar - benar merdeka. Mirip dengan Mesir, Irak merdeka secara formal pada tahun 1932, tetapi rakyatnya baru merasakan benar-benar merdeka pada tahun 1958. sebelum itu, negara-negara sekitar Irak telah mengumumkan kemerdekaannya seperti Syria, Yordania, dan Libanon pada tahun 1946. Di Afrika, Libya merdeka pada tahun 1951 M, Sudan dan Maroko tahun 1956 M, serta Aljazair merdeka pada tahun 1962 M yang kesemuanya itu membebaskan diri dari Perancis. Dalam waktu yang hampir bersamaan, Yaman Utara dan Yaman Selatan, serta Emirat Arab memperoleh kemerdekaannya pula. Di Asia Tenggara, Malaysia yang waktu itu merupakan bagian dari Singapura mendapat kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1957, dan Brunei Darussalam baru pada tahun 1984 M9.
Demikianlah satu persatu negara-negara muslim memerdekakan dirinya dari penjajahan. Bahkan beberapa diantaranya baru mendapat kemerdekaan pada tahun-tahun terakhir, seperti negara-negara muslim yang dahulunya bersatu dalam Uni Soviet, yaitu Uzbekistan, Turkmenia, Kirghistan, Kazakhstan, Tajikistan, dan Azerbaijan baru merdeka pada tahun 1992, serta Bosnia memerdekakan diri dari Yugoslavia pada tahun 199210.
Namun, sampai saat ini masih ada umat muslim yang berharap mendapatkan otonomi sendiri, atau paling tidak menjadi penguasa atas masyarakat mereka sendiri. Mereka itu adalah penduduk minoritas muslim dalam negara-negara nasional, misalnya Kasymir di India dan Moro di Filipina. Alasan mereka menuntut kebebasan dan kemerdekaan itu adalah karena status minoritas seringkali mendapatkan kesulitan dalam memperoleh kesejahteraan hidup dan kebebasan dalam menjalankan ajaran agama mereka.
http://delsajoesafira.blogspot.com/2010/05/pemikiran-peradaban-islam-masa-modern.html